"Siapa
yang menahan marah, padahal ia dapat memuaskannya (melampiaskannya), maka kelak
pada hari kiamat, Allah akan memanggilnya di depan sekalian makhluk. Kemudian, disuruhnya memilih
bidadari sekehendaknya." (HR. Abu Dawud - At-Tirmidzi)
Tingkat
keteguhan seseorang dalam menghadapi kesulitan hidup memang berbeda-beda. Ada yang mampu menghadapi
persoalan yang sedemikian sulit dengan perasaan tenang. Namun, ada pula orang
yang menghadapi persoalan kecil saja ditanggapinya dengan begitu berat.
Semuanya bergantung pada kekuatan ma’nawiyah (keimananan) seseorang.
Pada
dasarnya, tabiat manusia yang beragam: keras dan tenang, cepat dan lambat,
bersih dan kotor, berhubungan erat dengan keteguhan dan kesabarannya saat
berinteraksi dengan orang lain. Orang yang memiliki keteguhan iman akan
menyelurusi lorong-lorong hati orang lain dengan respon pemaaf, tenang, dan
lapang dada.
Adakalanya,
kita bisa merasa begitu marah dengan seseorang yang menghina diri kita.
Kemarahan kita begitu memuncak seolah jiwa kita terlempar dari kesadaran. Kita
begitu merasa tidak mampu menerima penghinaan itu. Kecuali, dengan marah atau
bahkan dengan cara menumpahkan darah.
Na’udzubillah.
Menurut
riwayat, ada seorang Badwi datang menghadap Nabi S.A.W. dengan maksud ingin meminta sesuatu pada beliau. Beliau
memberinya, lalu bersabda, "Aku berbuat baik padamu." Badwi itu
berkata, "Pemberianmu tidak bagus." Para
sahabat merasa tersinggung, lalu mengerumuninya dengan kemarahan. Namun, Nabi
memberi isyarat agar mereka bersabar.
Kemudian, Nabi S.A.W. pulang ke rumah. Nabi
kembali dengan membawa barang tambahan untuk diberikan ke Badwi. Nabi bersabda
pada Badwi itu, "Aku berbuat baik padamu?" Badwi itu berkata,
"Ya, semoga Allah membalas kebaikan Tuan, keluarga dan kerabat."
Keesokan harinya, Rasulullah S.A.W.
bersabda kepada para sahabat, "Nah, kalau pada waktu Badwi itu berkata
yang sekasar engkau dengar, kemudian engkau tidak bersabar lalu membunuhnya.
Maka, ia pasti masuk neraka. Namun, karena saya bina dengan baik, maka ia
selamat."
Beberapa
hari setelah itu, si Badwi mau diperintah untuk melaksanakan tugas penting yang
berat sekalipun. Dia juga turut dalam medan
jihad dan melaksanakan tugasnya dengan taat dan ridha.
Rasulullah
S.A.W. memberikan contoh kepada kita tentang berlapang dada. Ia tidak panik
menghadapi kekasaran seorang Badwi yang memang demikianlah karakternya. Kalau
pun saat itu, dilakukan hukuman terhadap si Badwi, tentu hal itu bukan
kezhaliman. Namun, Rasulullah S.A.W.
tidak berbuat demikian. Beliau tetap sabar menghadapinya dan
memberikan sikap yang ramah dan lemah
lembut. Pada saat itulah, beliau S.A.W. ingin menunjukkan pada kita bahwa
kesabaran dan lapang dada lebih tinggi
nilainya daripada harta benda apa pun. Harta, saat itu, ibarat sampah yang bertumpuk yang dipakai untuk suguhan
unta yang ngamuk. Tentu saja, unta yang
telah mendapatkan kebutuhannya akan dengan mudah dapat dijinakkan dan bisa digunakan untuk menempuh perjalan jauh.
Adakalanya,
Rasulullah S.A.W. juga marah. Namun, marahnya tidak melampaui batas kemuliaan. Itu pun ia lakukan bukan
karena masalah pribadi. Melainkan,
karena kehormatan agama Allah.
Rasulullah S.A.W. bersabda,
"Memaki-maki orang muslim adalah fasik (dosa), dan memeranginya adalah kufur (keluar dari Islam)."
(HR. Bukhari)
Sabdanya
pula, "Bukanlah seorang mukmin yang suka mencela, pengutuk, kata-katanya keji dan kotor." (HR.
Turmudzi).
Seorang
yang mampu mengendalikan nafsu ketika marahnya berontak, dan mampu menahan diri di kala mendapat ejekan. Maka,
orang seperti inilah yang diharapkan
menghasilkan kebaikan dan kebajikan bagi dirinya maupun masyarakatnya.
Seorang
hakim yang tidak mampu menahan marahnya, tidak akan mampu memutuskan perkara
dengan adil. Dan, seorang pemimpin yang mudah tersulut nafsu marahnya, tidak
akan mampu memberikan jalan keluar bagi rakyatnya. Justru, ia akan senantiasa
memunculkan permusuhan di masyarakatnya. Begitu pun pasangan suami-isteri yang
tidak memiliki ketenangan jiwa. Ia tidak akan mampu melayarkan laju bahtera
hidupnya. Karena, masing-masing tidak mampu memejamkan mata atas kesalahan
kecil pasangannya.
Bagi
orang yang imannya telah tumbuh dengan suburnya dalam dadanya. Maka, tumbuh
pula sifat-sifat jiwa besarnya. Subur pula rasa kesadarannya dan kemurahan hatinya.
Kesabarannya pun bertambah besar dalam menghadapi sesuatu masalah. Tidak mudah
memarahi seseorang yang bersalah dengan begitu saja, sekalipun telah menjadi
haknya.
Orang
yang demikian, akan mampu menguasai dirinya, menahan amarahnya, mengekang lidahnya
dari pembicaraan yang tidak patut. Wajib baginya, melatih diri dengan cara
membersihkan dirinya dari penyakit-penyakit hati. Seperti, ujub dan takabur,
riya, sum’ah, dusta, pengadu domba dan lain sebagainya. Dan menyertainya dengan
amalan-amalan ibadah dan ketaatan kepada Allah, demi meningkatkan derajat yang
tinggi di sisi Allah S.W.T.
Dari
Abdullah bin Shamit, Rasulullah S.A.W. bersabda, "Apakah tiada lebih
baik saya beritahukan tentang sesuatu
yang dengannya Allah meninggikan gedung-gedung dan mengangkat derajat
seseorang?" Para sahabat menjawab, "Baik, ya Rasulullah."
Rasulullah saw bersabda, "Berlapang dadalah kamu terhadap orang yang
membodohi kamu. Engkau suka memberi maaf kepada orang yang telah menganiaya
kamu. Engkau suka memberi kepada orang yang tidak pernah memberikan sesuatu
kepadamu. Dan, engkau mau bersilaturahim kepada orang yang telah memutuskan
hubungan dengan engkau." (HR.
Thabrani).
Sabdanya
pula, "Bahwasanya seorang hamba apabila mengutuk kepada sesuatu, naiklah
kutukan itu ke langit. Lalu, dikunci pintu langit-langit itu buatnya. Kemudian,
turunlah kutukan itu ke bumi, lalu dikunci pula pintu-pintu bumi itu baginya.
Kemudian, berkeliaranlah ia kekanan dan kekiri. Maka, apabila tidak mendapat
tempat baru, ia pergi kepada yang dilaknat. Bila layak dilaknat (artinya kalau
benar ia berhak mendapat laknat), tetapi apabila tidak layak, maka kembali
kepada orang yang mengutuk (kembali ke alamat si pengutuk)." (HR. Abu
Dawud).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar